Judul di
atas, bukan berarti saya mau menikah lagi, karena saya berniat untuk menikah sekali seumur hidup.
Tulisan ini lebih pada menyoroti kasus yang akhir-akhir ini sering masuk
berita, terkait dengan kesepakatan kepala KUA untuk tidak menikahkan diluar jam
bekerja dan diluar kantor. Tulisan ini juga saran dari seorang teman. Sebagaimana
yang kita tahu, mulai 1 Desember 2013 ini semua pencatatan pernikahan
yang dilakukan melalui KUA harus di lakukan di kantor pada jam kantor. Kenapa
kata pencatatan saya tulis dengan huruf tebal dan miring? Karena yang berhak
menikahkan seorang gadis atau janda adalah tetap walinya bisa Bapak, Kakek dari
pihak bapak, saudara laki-laki dan seterusnya. Sedang petugas KUA hanya
mencatat nikahnya saja supaya diakui secara hukum nasional.
Kalau lihat
dasarnya, sebenarnya kita gak perlu risau mengenai soal petugas KUA yang gak
mau lagi mencatat pernikahan di luar kantor dan jam bekerja. Kalau takut tidak
sesuai dengan nogodino nya atau hari yang baik menurut hitungan orang jawa, ya
nikah pada tanggal yang ditentukan baru kemudian dicatatkan di KUA. Saat saya
nikah dulu, karena berbagai alasan nenek saya (Hj. Siti fatimah) pada saat
suami saya mau melamar saya, meminta lamaran sekaligus akad nikah, dan suami
saya setuju, sehingga saat itu tetangga dekat juga kita undang supaya tidak ada
fitnah dan menjadi saksi bahwa saya dan suami sudah menikah. Kemudian 3 bulan
berikutnya tepatnya tanggal 6 pebruari 1999 saya baru mencatatkannya lewat KUA.
Dan saat pencatatan itu kami tidak lagi ada prosesi ijab kabul. Ini artinya gak
usah pusing mikirin harus merubah hari atau apapun. Nikah dulu baru dicatatkan, tapi ingat seperti kata
pekde saya, jangan terlalu lama karena sudah halal melakukan hubungan suami
isteri, takutnya hamil duluan.
Yang
kemudian menjadi pr bagi KUA, adalah bagaimana KUA harus menyediakan tempat
yang cukup layak untuk melakukan pencatatan pernikahan. Sebab menurut
pengamatan saya kantor KUA itu kebanyakan relatif tidak luas. Sehingga kalau
musim nikah, tentu ruangan yang ada tidak cukup memadai untuk menampung banyak
orang. Hitungan kasar saja setiap pencatatan pernikahan minimal ada 5 orang
kalau hari itu ada 5 pasang orang yang nikah berarti ada minimal 25 orang.
Sudah dipikirkan kursinya, parkirnya dll. Sebagai Abdi masyarakat, PNS yang ada
di KUA juga harus tetap mengedepankan pelayanan prima.disisi lain kemenag sebagai instansi yang menaungi KUA harus memikirkan juga hak-hak petugas pencatat nikah seperti uang lembur dll. Sebab berdasarkan pengalaman kami yang juga sebagai pelayan guru dan tenaga kependidikan saat jam kerja waktu kita habis untuk melayani mereka, sehingga pekerjaan aministrasi lainnya yang tidak kalah banyak dan pentingnya harus kita kerjakan setelah jam kerja berakhir
Ada
pemikiran saya bahwa petugas KUA itu layaknya petugas pencatat akta kelahiran.
Kalau petugas akta kelahiran kan tidak harus melihat bayinya lahir. Begitupun
dengan petugas KUA, tidak harus melihat langsung acara nikahnya. Kalau
berkasnya sudah valid, ya sudah di catat aja. Kalau takut salah ya dilakukan
verifikasi faktual,dengan menghadirkan
pengantin, wali, dan 2 orang saksi. Jadi gak perlu acara akad nikah dan prosesi
yang mengiringi seperti khutbah nikah dll. Bagaimana menurut Anda?