Kartini, seorang
wanita jawa yang curhat dan baktinya membuka mata banyak
orang bahwa ada ketidak adilan disekitarnya. Ketidak adilan yang sebenarnya
dibuat oleh manusia sendiri, sebab Allah sejatinya tidak pernah membedakan antara
laki-laki dan perempuan, baik ibadah maupun yang lainnya. Sekarang memang sudah
banyak wanita yang bisa mendapatkan persamaan hak sehingga dapat kedudukan yang
sama dengan kaum laki-laki, seperti menjadi pejabat publik maupun pimpinan
perusahaan swasta, tapi jangan kita lupakan masih banyak juga perempuan yang
masih terbelenggu oleh pemikiran yang salah, yang herannya kaum perempuan
sendiri yang membantu melestarikannya. Di kampung saya ada keluarga yang
sederhana tapi anaknya pinter-pinter, tetapi si anak perempuan yang paling
pinter diantara 2 saudaranya harus merelakan kesempatan melanjutkan kuliah
karena mendahulukan adiknya yang laki-laki yang sebenarnya tidak cukup pinter,
alasannya masih klasik, perempuan toh nanti jadi ibu rumah tangga sementara laki-laki
nanti harus cari. Dan saya yakin cerita seperti itu tidak hanya di kampung saya
tapi masih terjadi di banyak tempat.
Menurut saya yang harus
di ubah adalah pola berfikir kaum
perempuan itu sendiri. Ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa pola pikir kita
belum berubah, coba lihat sekarang ini, ketika memperingati hari kartini, semua
pada pake kebaya, itu berarti kita ini hanya meniru RA Kartini hanya
lahiriyahnya saja, sebab dari foto yang kita punya ibu Kartini pake kebaya.
Mestinya dalam memperingati hari kartini semangat kartini untuk persamaan dan
keadilan itu yang harus kita perlihatkan.
Sekarang kita lihat
perempuan sudah berperan di segala lini kehidupan. Tapi menurut saya ada yang
karena keadaan seperti jadi tukang becak, sopir dan lain-lain yang bertumpu
pada kekuatan fisik, hampir semuanya mereka yang berprofesi itu karena tuntutan
keadaan untuk bisa mencukupi tapi ada yang bekerja karena keinginan apakah
keinginan untuk aktualisasi diri atau yang lain. Peran ganda ini tentu harus
memerlukan pengorbanan baik diri sendiri maupun orang dekatnya termasuk suami. Tetapi
keadaan yang sudah ekstra inipun, untuk sebagian besar perempuan yang
berprofesi sebagai pns, ada tambahan beban lain yaitu sebagai anggota dharma
wanita. Mestinya anggota dhrama wanita itu adalah isteri pns, sehingga pns
perempuan yang tidak mempunyai suami pns mestinya tidak diikutkan dalam
organisasi dharma wanita kecali kalau mereka dengan senang hati mendaftarkan
diri sebagai anggota. Tapi nyatanya tidak, mau punya suami pns atau tidak, pns perempuan harus mbayar iuran dan ikut
kegiatan dharma wanita. Mudah-mudahan hanya ada ditempat saya saja hal seperti
ini. saya memang menyatakan tidak
terlibat dalam kegiatan dharma wanita walaupun tetap harus bayar, dan ketika
disemoni atau yang lain saya tidak peduli. Dan yang melakukan itu ya lagi-lagi
perempuan. Inilah tantangannya perempuan kerja tidak saja harusmembagi waktu
antara urusan rumah tangga dengan pekerjaan, tetapi banyak juga yang ketika di
lingkungan pekerjaan pun harus juga dapat ekstra pekerjaan hanya karena mereka
perempuan.
Inilah yang menjadi pr
kita perempuan, agar bisa mengambil makna bukan kulitnya dari suatu peristiwa,
termasuk hari kelahiran RA Kartini.
( note : tulisan ini
awalnya memang saya tulis pas hari kartini, tetapi karena sibuk akhirnya baru sekarang saya upload)