Rabu, 10 Juli 2013

SAYA ORANG TUA TUNGGAL TAPI SAYA KUAT

            Hari  ini, tepat 35 hari kematian suami saya. Ada banyak hal yang belum bisa saya kerjakan dengan baik, sebab biasanya kebiasaan itu kami lakukan bersama-sama atau juga saling berbagi. Pontang-panting pasti, tapi alhamdulillah ada banyak uluran tangan.  Seperti hari ini, pagi-pagi saya harus ngantar jagoan saya kembali ke pondok pesantren, sementara si kecil hira harus disuapin, tapi karena kelupaan minta tolong saudara untuk nyuapin hira sehingga sampai jam setengah delapan hira baru saya suapin.  Atau beberapa hari  yang lalu anak saya yang nomor dua, minta nostalgia jejak abinya dan paling  beratnya dia gak mau di sopiri oleh orang lain, dia ingin hanya keluarga inti seperti kalau masih ada abinya. Akhirnya saat pulang si kecil hira nangis minta netek, ya sudah neteki sambil nyetir. Dan alhamdulillah sampai juga di rumah dengan selamat. Untung di Indonesia, coba kalau di Amerika pasti udah kena tilang. Bahkan bisa-bisa dicabut hak saya untuk mengasuh anak saya.
 
            Saya terkadang heran, ditinggal mati dengan anak masih kecil seperti turunan. Tahun 1963, mbahyai saya meninggal ketika anak-anaknya masih kecil, bulik saya yang paling kecil saat itu baru berusia 1,5 tahun. Tahun 1975, Bapak saya juga meninggal ketika saya berusia 2,5 tahun dan adik saya masih baru selapan (35) hari. Sekarang suami saya meninggal ketika hira masih berusia 1 tahun.  Tapi saya masih bersyukur, dibandingkan dengan nenek dan ibu saya, saya jauh lebih beruntung. Nenek saya memang ditinggali banyak harta (karena mbahyai jadi lurah dan anak orang berada) tapi karena selama mbahyai hidup, tidak boleh ngurusi pekerjaan maka harta itu kemudian banyak diselewengkan orang, sehingga kemudian jatuh miskin. ibu saya ditinggal mati bapak saya dalam keadaan tidak punya pekerjaan  dan rumah pun sangat sederhana. Sementara ketika suami saya meninggal,  saya sudah punya rumah yang layak, kendaraan  yang layak. Dan karena beliau PNS maka saya pun setiap bulannya masih mendapatkan uang pensiunan dan yang pasti saya tetap bisa mandiri dan insya allah dapat membiayai hidup anak-anak saya dengan layak karena saya memiliki pekerjaan yang layak.   Dan karena melihat keadaan mbanyai dan ibu saya saat itu, saat saya lulus dari universitas brawijaya malang, prioritas saya adalah bekerja,   wanita harus bekerja dan mandiri secara finansial. 
            Jadi kalau mbahnyai dan ibu yang keadaannya saat diitinggal suaminya begitu memprihatinkan  bisa berjuang  walau dengan peluh yang bercucuran sampai anak-anaknya berhasil bahkan ada yang bisa jadi walikota. Tentu saya yang lebih mapan harus lebih bersemangat menata keluarga agar anak-anak saya lebih berhasil dan jadi anak-anak yang soleh-solehah seperti yang saya janjikan kepada Almarhum suami.  Ya saya memang orang tua tunggal, tapi saya kuat dan bisa!