Hari ini, tepat 35 hari kematian suami saya. Ada banyak
hal yang belum bisa saya kerjakan dengan baik, sebab biasanya kebiasaan itu
kami lakukan bersama-sama atau juga saling berbagi. Pontang-panting pasti, tapi
alhamdulillah ada banyak uluran tangan. Seperti
hari ini, pagi-pagi saya harus ngantar jagoan saya kembali ke pondok pesantren,
sementara si kecil hira harus disuapin, tapi karena kelupaan minta tolong
saudara untuk nyuapin hira sehingga sampai jam setengah delapan hira baru saya
suapin. Atau beberapa hari yang lalu anak saya yang nomor dua, minta
nostalgia jejak abinya dan paling
beratnya dia gak mau di sopiri oleh orang lain, dia ingin hanya keluarga
inti seperti kalau masih ada abinya. Akhirnya saat pulang si kecil hira nangis
minta netek, ya sudah neteki sambil nyetir. Dan alhamdulillah sampai juga di
rumah dengan selamat. Untung di Indonesia, coba kalau di Amerika pasti udah
kena tilang. Bahkan bisa-bisa dicabut hak saya untuk mengasuh anak saya.
Saya
terkadang heran, ditinggal mati dengan anak masih kecil seperti turunan. Tahun
1963, mbahyai saya meninggal ketika anak-anaknya masih kecil, bulik saya yang
paling kecil saat itu baru berusia 1,5 tahun. Tahun 1975, Bapak saya juga
meninggal ketika saya berusia 2,5 tahun dan adik saya masih baru selapan (35)
hari. Sekarang suami saya meninggal ketika hira masih berusia 1 tahun. Tapi saya masih bersyukur, dibandingkan dengan
nenek dan ibu saya, saya jauh lebih beruntung. Nenek saya memang ditinggali
banyak harta (karena mbahyai jadi lurah dan anak orang berada) tapi karena selama
mbahyai hidup, tidak boleh ngurusi pekerjaan maka harta itu kemudian banyak
diselewengkan orang, sehingga kemudian jatuh miskin. ibu saya ditinggal mati bapak saya dalam
keadaan tidak punya pekerjaan dan rumah
pun sangat sederhana. Sementara ketika suami saya meninggal, saya sudah punya rumah yang layak,
kendaraan yang layak. Dan karena beliau PNS maka saya pun setiap bulannya masih mendapatkan uang pensiunan dan yang pasti saya tetap bisa mandiri dan insya allah dapat membiayai hidup anak-anak saya dengan layak karena saya memiliki pekerjaan yang layak. Dan karena melihat keadaan mbanyai dan ibu saya saat itu, saat saya lulus dari universitas brawijaya malang, prioritas saya adalah bekerja, wanita harus bekerja dan mandiri secara finansial.
Jadi
kalau mbahnyai dan ibu yang keadaannya saat diitinggal suaminya begitu
memprihatinkan bisa berjuang walau dengan peluh yang bercucuran sampai
anak-anaknya berhasil bahkan ada yang bisa jadi walikota. Tentu saya yang lebih mapan
harus lebih bersemangat menata keluarga agar anak-anak saya lebih berhasil dan
jadi anak-anak yang soleh-solehah seperti yang saya janjikan kepada Almarhum
suami. Ya saya memang orang tua tunggal,
tapi saya kuat dan bisa!