Rabu, 27 November 2019

biar ngehit mestinya dinaikan bobot evaluasi pada evaluasi sakip


       

Komitmen untuk menjadikan birokrasi yang bersih menjadikan sebuah lembaga yang bernama inspektorat menjadi ngehit, selain ada ketentuan tentang mandatory spending  dimana anggaran inspektorat sudah ditentukan besarannya sesuai dengan besaran belanja daerah yang berlaku tahun 2020, juga adanya penguatan lembaga dengan adanya peraturan pemerintah no 71 tahun 2019 tentang perubahan peraturan pemerintah no 18 tahun 2016 walau masih bikin ngak jelas karena bertanggungjawab ke kepala daerah melalui sekda tetapi berkewajiban melaporkan KDH kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat kalau diduga KDH melakukan tindak pidana korupsi), Dalam dunia perSAKIPan, Inspektorat juga memegang peranan yang cukup strategis. Inspektorat tidak hanya mereviu LKJP tahunan dan melakukan evaluasi sakip perangkat daerah, tetapi inspektorat itu mengawal akuntabilitas kinerja mulai  dari perencanaan (melalui reviu RPJM, RKPD, Renstra) penganggaran (melalui reviu RKA), pelaporan (melakui reviu LkjIP)  sampai Monitoring evaluasi (melalui evaluasi SAKIP, audit kinerja).  
Gambar terkait
Kalau kita lihat alur pada sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, maka peran inspektorat ada di semua lini. Tetapi memang selama ini belum dilakukan dengan optimal (karena yang namanya reviu ya hanya memberikan keyakinan terbatas), Misalnya ketika mereviu rka kebanyakan belum sampai melihat apakah rincian belanja sudah selaras dengan kegiatan dan indikator kinerjanya. Pengalaman kami 4 bulan di inspektorat, membuat kami tau bahwa walau Indikator kinerja utama (IKU) serta indikator program dan kegiatan juga sudah smart, tetapi kinerja belum optimal, karena ngak sedikit dari perangkat daerah yang rincian anggaran belanjanya ngak  nyambung dengan apa yang mau dicapai misalnya indikatornya updating data tapi rincian belanjanya ternyata untuk sosialisasi, kalau dihubungkan sih ya ada tetapi ya jauh. Ada juga  yang punya indikator A tetapi rincian belanjanya sama sekali ngak ada atau anggarannya sedikit dibanding sub kegiatan yang lain. Ini mungkin daerah yang nilai sakipnya masih b atau bahkan yang nilai sakipnya  bb ke bawah ya .... tapi kan pemerintah daerah masih  banyak yang nilainya BB ke bawah di banding yang nilai sakipnya A.  Maka agar Inspektorat lebih bertaring dan ada perhatian lebih dari pemangku kebijakan daerah maupun institusi inspektorat sendiri, maka di tataran penilaian SAKIP, mestinya bobot evaluasi itu bukan hanya 10% sebagaimana Peraturan Menteri Pendayagunaan aparatur negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 12 Tahun 2015 tentang  Pedoman Evaluasi Implementasi SAKIP ( yang bobot 10% tersebut dibagi lagi  menjadi 2 % untuk pemenuhan, 5% untuk kualitas dan 3% untuk pemanfaatan hasil evaluasi)  tetapi menjadi 15 %.  tentu yang dilihat tidak hanya kualitas saat evaluasi sakip perangkat daerah tetapi juga pada saat reviu perencanaan dan penganggaran.
Tentu pembobotan ini juga harus dibarengi dengan peningkatan Sumber daya evaluatornya. Karena diakui apa tidak sumber daya evaluator SAKIP yang ada di inspektorat masih terbatas. Seperti yang sering saya denger, evaluasi sakip itu itu menurut sebagian evaluator mumet dan ngak bisa 1 ditambah 1 sama dengan 2. Ngak ada pakemnya seperti saat melakukan audit belanja. Bahkan kadang saya tersenyum simpul saat masih ada yang belum faham bedanya sakip sama lakip jadi  ngomong evaluasi sakip itu evaluasi lakip. Tetapi kendala SDM bukan masalah toh tahun depan biaya pengawasan sangat besar sehingga bisa dipakai untuk melakukan diklat atau bentuk lain dari penngkatan kualitas evaluator. Anda setuju?????