
Komitmen untuk menjadikan birokrasi yang bersih menjadikan sebuah lembaga yang bernama inspektorat menjadi ngehit, selain ada ketentuan tentang mandatory spending dimana anggaran inspektorat sudah ditentukan besarannya sesuai dengan besaran belanja daerah yang berlaku tahun 2020, juga adanya penguatan lembaga dengan adanya peraturan pemerintah no 71 tahun 2019 tentang perubahan peraturan pemerintah no 18 tahun 2016 walau masih bikin ngak jelas karena bertanggungjawab ke kepala daerah melalui sekda tetapi berkewajiban melaporkan KDH kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat kalau diduga KDH melakukan tindak pidana korupsi), Dalam dunia perSAKIPan, Inspektorat juga memegang peranan yang cukup strategis. Inspektorat tidak hanya mereviu LKJP tahunan dan melakukan evaluasi sakip perangkat daerah, tetapi inspektorat itu mengawal akuntabilitas kinerja mulai dari perencanaan (melalui reviu RPJM, RKPD, Renstra) penganggaran (melalui reviu RKA), pelaporan (melakui reviu LkjIP) sampai Monitoring evaluasi (melalui evaluasi SAKIP, audit kinerja).

Kalau kita lihat alur pada sistem
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, maka peran inspektorat ada di semua
lini. Tetapi memang selama ini belum dilakukan dengan optimal (karena yang
namanya reviu ya hanya memberikan keyakinan terbatas), Misalnya ketika mereviu rka
kebanyakan belum sampai melihat apakah rincian belanja sudah selaras dengan
kegiatan dan indikator kinerjanya. Pengalaman kami 4 bulan di inspektorat,
membuat kami tau bahwa walau Indikator kinerja utama (IKU) serta indikator
program dan kegiatan juga sudah smart, tetapi kinerja belum optimal, karena
ngak sedikit dari perangkat daerah yang rincian anggaran belanjanya ngak nyambung dengan apa yang mau dicapai misalnya
indikatornya updating data tapi rincian belanjanya ternyata untuk sosialisasi,
kalau dihubungkan sih ya ada tetapi ya jauh. Ada juga yang punya indikator A tetapi rincian
belanjanya sama sekali ngak ada atau anggarannya sedikit dibanding sub kegiatan
yang lain. Ini mungkin daerah yang nilai sakipnya masih b atau bahkan yang
nilai sakipnya bb ke bawah ya .... tapi
kan pemerintah daerah masih banyak yang
nilainya BB ke bawah di banding yang nilai sakipnya A. Maka agar Inspektorat lebih bertaring dan ada
perhatian lebih dari pemangku kebijakan daerah maupun institusi inspektorat
sendiri, maka di tataran penilaian SAKIP, mestinya bobot evaluasi itu bukan
hanya 10% sebagaimana Peraturan Menteri Pendayagunaan aparatur negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 12 Tahun 2015 tentang
Pedoman Evaluasi Implementasi SAKIP ( yang bobot 10% tersebut dibagi
lagi menjadi 2 % untuk pemenuhan, 5%
untuk kualitas dan 3% untuk pemanfaatan hasil evaluasi) tetapi menjadi 15 %. tentu yang dilihat tidak hanya kualitas saat
evaluasi sakip perangkat daerah tetapi juga pada saat reviu perencanaan dan
penganggaran.
Tentu pembobotan ini juga harus
dibarengi dengan peningkatan Sumber daya evaluatornya. Karena diakui apa tidak
sumber daya evaluator SAKIP yang ada di inspektorat masih terbatas. Seperti yang
sering saya denger, evaluasi sakip itu itu menurut sebagian evaluator mumet dan
ngak bisa 1 ditambah 1 sama dengan 2. Ngak ada pakemnya seperti saat melakukan
audit belanja. Bahkan kadang saya tersenyum simpul saat masih ada yang belum
faham bedanya sakip sama lakip jadi ngomong evaluasi sakip itu evaluasi lakip. Tetapi
kendala SDM bukan masalah toh tahun depan biaya pengawasan sangat besar sehingga
bisa dipakai untuk melakukan diklat atau bentuk lain dari penngkatan kualitas
evaluator. Anda setuju?????