Minggu, 08 Desember 2013

NIKAH DI KUA, SAPA TAKUT?



            Judul di atas, bukan berarti saya mau menikah lagi, karena saya  berniat untuk menikah sekali seumur hidup. Tulisan ini lebih pada menyoroti kasus yang akhir-akhir ini sering masuk berita, terkait dengan kesepakatan kepala KUA untuk tidak menikahkan diluar jam bekerja dan diluar kantor. Tulisan ini  juga saran dari seorang teman. Sebagaimana yang kita tahu, mulai 1 Desember 2013 ini semua pencatatan pernikahan yang dilakukan melalui KUA harus di lakukan di kantor pada jam kantor. Kenapa kata pencatatan saya tulis dengan huruf tebal dan miring? Karena yang berhak menikahkan seorang gadis atau janda adalah tetap walinya bisa Bapak, Kakek dari pihak bapak, saudara laki-laki dan seterusnya. Sedang petugas KUA hanya mencatat nikahnya saja supaya diakui secara hukum nasional.
 
            Kalau lihat dasarnya, sebenarnya kita gak perlu risau mengenai soal petugas KUA yang gak mau lagi mencatat pernikahan di luar kantor dan jam bekerja. Kalau takut tidak sesuai dengan nogodino nya atau hari yang baik menurut hitungan orang jawa, ya nikah pada tanggal yang ditentukan baru kemudian dicatatkan di KUA. Saat saya nikah dulu, karena berbagai alasan nenek saya (Hj. Siti fatimah) pada saat suami saya mau melamar saya, meminta lamaran sekaligus akad nikah, dan suami saya setuju, sehingga saat itu tetangga dekat juga kita undang supaya tidak ada fitnah dan menjadi saksi bahwa saya dan suami sudah menikah. Kemudian 3 bulan berikutnya tepatnya tanggal 6 pebruari 1999 saya baru mencatatkannya lewat KUA. Dan saat pencatatan itu kami tidak lagi ada prosesi ijab kabul. Ini artinya gak usah pusing mikirin harus merubah hari atau apapun. Nikah dulu  baru dicatatkan, tapi ingat seperti kata pekde saya, jangan terlalu lama karena sudah halal melakukan hubungan suami isteri, takutnya hamil duluan.
            Yang kemudian menjadi pr bagi KUA, adalah bagaimana KUA harus menyediakan tempat yang cukup layak untuk melakukan pencatatan pernikahan. Sebab menurut pengamatan saya kantor KUA itu kebanyakan relatif tidak luas. Sehingga kalau musim nikah, tentu ruangan yang ada tidak cukup memadai untuk menampung banyak orang. Hitungan kasar saja setiap pencatatan pernikahan minimal ada 5 orang kalau hari itu ada 5 pasang orang yang nikah berarti ada minimal 25 orang. Sudah dipikirkan kursinya, parkirnya dll. Sebagai Abdi masyarakat, PNS yang ada di KUA juga harus tetap mengedepankan pelayanan prima.disisi lain kemenag sebagai instansi yang menaungi KUA harus memikirkan juga hak-hak petugas pencatat nikah seperti uang lembur dll. Sebab berdasarkan pengalaman kami yang juga sebagai pelayan guru dan tenaga kependidikan saat jam kerja waktu kita habis untuk melayani mereka, sehingga pekerjaan aministrasi lainnya yang tidak kalah banyak dan pentingnya harus kita kerjakan setelah jam kerja berakhir
            Ada pemikiran saya bahwa petugas KUA itu layaknya petugas pencatat akta kelahiran. Kalau petugas akta kelahiran kan tidak harus melihat bayinya lahir. Begitupun dengan petugas KUA, tidak harus melihat langsung acara nikahnya. Kalau berkasnya sudah valid, ya sudah di catat aja. Kalau takut salah ya dilakukan verifikasi  faktual,dengan menghadirkan pengantin, wali, dan 2 orang saksi. Jadi gak perlu acara akad nikah dan prosesi yang mengiringi seperti khutbah nikah dll. Bagaimana menurut Anda?